Hukum Perikatan

HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.
Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1.Perikatan yang timbul dari persetujuan(perjanjian).
2.Perikatan yangy timbul dari undang–undang.
3.Perikatan terjadi bukan perjanjian.
4. Asas–asas dalam Hukum Perjanjian

Sumber-sumber Perikatan

Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUHPer), terdiri dari:
1.    Perjanjian bernama,yakni perjanjian yang sudah ditentukan dan diatur dalam Perpu/UU. Misalnya: jual-beli, sewa-menyewa.
2.    Perjanjian tidak bernama, yakni perjanjian yang belum ada dalam UU. Misalnya: leasing, dsb.
Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUHPer), terdiri dari:
1.      Undang-undang saja (1352 KUHPer), contohnya: hak numpang pekarangan.
2.      Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUHPer), contohnya: perbuatan yang halal (1354 KUHPer) dan perbuatan yang melawan hukum (1365 KUHPer).

Obyek Perikatan

Yang dimaksud dengan obyek Perikatan ialah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Obyek Perikatan dinamakan Prestasi Perikatan. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, Prestasi dapat berupa:
a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu
b. Kewajiban untuk berbuat sesuatu
c.  Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu
Kewajiban untuk memberikan Sesuatu ialah kewajiban untuk memberikan hak milik / hak penguasaan atau hak memilki sesuatu. Kewajiban untuk berbuat sesuatu adalah Segala perbuatan yang bukan memberikan sesuatu, misalnya membangun gedung. Kewajiban untuk tidak berbuat sesuatu adalah kewajiban yang menjanjikan untuk tidak berbua sesuatu yang telah diperjanjikan. Misalnya, pedagang beras A yang berjualan disebelah pedagang beras B berjanji untuk tidak menurunkan harga berasnya, yang dimaksudkan untuk menyainginya.

Subyek Perikatan

Para pihak pada suatu perikatan disebut Subyek-Subyek Perikatan, yakni Kreditur yang berhak dan debitur yang berkewajiban atas Prestasi.
Kedudukan Kreditur, tidak dapat diganti secara sepihak misalnya: Cessie
Akan tetapi dapat diganti dengan menggunakan klausula atas tunjuk dan atas bawa Penggantian debitur secara sepihak pada umumnya tidak pernah terjadi.

PERJANJIAN

Hubungan Perikatan dengan Perjanjian

Menurut Prof. Subekti, perkataan “perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Perikatan lebih luas dari perjanjian, karena perikatan itu dapat terjadi karena:
1.      Perjanjian
2.      Undang-Undang
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antara perjanjian dengan perikatan mempunyai hubungan, di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan sumber terpenting dalam perikatan.

Asas-asas Perjanjian

1.      Sistem terbuka. Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas dalam menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga asa kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPer).
2.      Bersifat pelengkap. Artinya pasal-pasal dalam hukum perjanjian boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang mebuat perjanjian itu menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari undang-undang.
3.      Konsensualisme . Artinya bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat syahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPer).
4.      Kepribadian. Mempunyai arti bahwa, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Menurut Pasal 1315 KUHPer, pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. 

Syarat-syarat Syahnya Perjanjian

1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian, harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu.
2.      Kecakapan untuk membuat perjanjian itu. Pada dasarnya, setiap orang yang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUHPer)
3.      Adanya suatu hal tertentu. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas dan dapat ditentukan
4.      Adanya suatu sebab yang halal

Menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang (lihat Pasal 1337 KUHPer).

Jenis-jenis Perjanjian

1.                  Perjanjian timbal-balik (hak dan kewajiban)
2.                  Perjanjian sepihak (menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja)
3.                  Perjanjian cuma-cuma (menimbulkan keuntungan pihak lain)
4.                  Perjanjian atas beban (kedua prestasi ada hubungan hukum)
5.                  Perjanjian konsensuil (kesepakatan antar 2 pihak)
6.                  Perjanjian riil (kesepakatan disertai penyerahan nyata barangnya)
7.                  Perjanjian bernama (diatur UU) dan tak bernama (tak diatur UU)
Wanprestasi
Dalam hukum perikatan dikenal adanya prestasi, yaitu yang dimaksud dengan prestasi ialah kewajiban yang harus dipenuhi tiap-tiap pihak sesuai dengan isi perjanjian dan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.
Wanprestasi berarti kelalaian tidak menepati kewajibannya dalma perjanjian. Akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi ini bisa menimbulkan kerugian pada kreditur. Maka akan ada sanksi bagi debitur antara lain ada 4 sanksi, yaitu:
1.                  Debitur harus mengganti kerugian yang diderita kreditur
2.                  Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian
3.                  Peralihan resiko pada debitur sejak terjadinya wanprestasi
4.                  Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim.

Komentar

Postingan Populer